Aira Harapan
Ketika Aira mulai bersekolah, dia kesulitan untuk berbicara, diintimidasi, dan hanya memiliki sedikit teman. Sekarang. setelah operasi sumbingnya, dia menjadi bintang di kelas!
Mustika merasa ada sesuatu yang salah sepanjang kehamilannya. Ia tidak dapat mengetahui apa yang salah dengan tepat, dan dengan tidak adanya akses ke mesin ultrasound di desa terpencilnya di Indonesia, tentunya ia tidak dapat mengetahui apakah kecurigaannya tepat atau tidak. Meskipun demikian, ia sudah pernah menjalani kehamilan sebelumnya dan tidak pernah merasakan hal yang sama. Sang suami, Sudirman, menyadari hal tersebut juga – Mustika seringkali mebuatnya terjada sepanjang malam berteriak-teriak dalam tidurnya seakan sedang kesakitan.
Saat nyeri persalinan mulai terasa, mereka menemui bidan di tempat melahirkan. Mustika awalnya mengharapkan senyuman Sudirman dan sang bidan yang mereka saat bayinya lahir, tetapi justru ditemui dengan wajah yang sedih dan kebingungan. Sang putri kecil, Aira, lahir dengan bibir sumbing. Firasat Mustika pun menjadi kenyataan, dan tanpa mengetahui apa pun mengenai bibir sumbing, ia merasa kehilangan harapan.
Aira tersedak saat minum ASI dan berjuang keras untuk mencapai berat yang ideal. Tetapi meskipun kondisinya menguatirkan, kedua orang tuanya menolak untuk menyerah. Meskipun mereka mungkin belum mampu memberikan operasi yang mereka sadari sangat dibutuhkan oleh Aira, mereka lakukan yang dapat mereka lakukan untuk menyisihkan beberapa perak setiap bulannya. Sudirman bahkan menjual salah satu dari sedikit sapi miliknya – yang mana merupakan harta keluarga yang paling berharga – untuk mendapatkan dana demi operasi, tetapi itu pun masih belum cukup.
Saat Aira mulai bersekolah, ia kesulitan untuk berbicara di kelas. Ia sering dirudung dan hanya memiliki beberapa teman. Menyadari bahwa pendidikan serta masa depannya terancam, kedua orang tuanya pun menggandakan usaha mereka untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan untuk menjalani operasi bibir sumbing.
Suatu hari ketika Aira berusia tujuh tahun, kepala desa menghampiri Sudirman dengan berita tak terduga – dirinya baru saja mendengar kabar bahawa di RS Muhammadiyah Palembang yang merupakan rumah sakit terdekat dari lokasi mereka, sebuah organisasi bernama Smile Train telah mensponsori pengobatan bibir sumbing gratis.
Mustika dan Sudirman awalnya tidak percaya, dan meskipun ternyata penawaran tersebut benar adanya, mereka kuatir untuk putri mereka menjalani operasi. Tetapi mereka juga tidak ingin berdiam diri dan membiarkan kesempatan ini pergi begitu saja. Saat mereka pergi untuk konsultasi dan melihat foto anak-anak sebelum dan sesudah operasi di tembok rumah sakit, mereka pun menjadi yakin.
Saat Aira melihat ke cermin dan melihat bayangan dirinya sendiri setelah operasi untuk pertama kalinya, ia menangis dan mencoba untuk menunjukkan senyuman terbesar di hidupnya, tetapi tidak berhasil karena jahitan. Meskipun demikian, kedua orang tuanya tidak memiliki keterbatasan tersebut, dan kebahagiaan terpancar luas dalam senyuman mereka.
Begitu sampai di rumah, seluruh penduduk desa berkumpul di sekitar Aira dan mengatakan kepadanya betapa cantiknya senyuman baru Aira. Malu karena tumbuh dengan bibir sumbing, pujian-pujian tersebut membuat Aira meringis sepanjang saat sembari tersipu malu.
Tetapi kepercayaan dirinya datang secepat jahitannya mulai sembuh. Tidak perlu menunggu lama, sang putri yang selama ini selalu langsung pulang ke rumah setelah selesai sekolah, sekarang selalu berada di luar rumah setiap malam untuk bermain bersama teman-temannya. Nilai-nilainya di sekolah pun membaik dan dia bercita-cita untuk menjadi dokter agar dapat meneruskan kebaikan dan senyuman yang ditunjukkan oleh Smile Train kepada dirinya.
Meski Mustika mungkin dapat menerima kemungkinan bahwa putri kecilnya akan pergi jauh untuk bersekolah di sekolah medis, kedua orang tua Aira bersyukur kepada Tuhan setiap hari atas sumbangan para donor Smile Train dan berkomitmen untuk membalas budi tersebut. Saat ini mereka mendorong setiap orang dengan kondisi bibir sumbing yang mereka temui untuk pergi ke RS Muhammadiyah Palembang untuk menjalani operasi yang disponsori oleh Smile Train, termasuk sanak keluarga mereka yang berusia 71 tahun dan tinggal di desa sekitar.
Menyelamatkan nyawa seorang anak dan mengubah masa depan mereka.